Artikel Makalah, Kumpulan Makalah

Pengertian, cakupan, nash yang bersangkutan, dan pengecualiannya

A. Pendahuluan
Qawaid fiqhiyyah merupakan sebuah produk dari gerakan pemahaman berdasarkan pertimbangan masa, bukan semata-mata produk kesimpulan pemikiran atau eksprimen para fuqaha yang muncul secara kebetulan pada masa-masa tertentu. Tapi qawa’id fiqhiyyah ini selalu berada dalam pertimbangan fuqaha mutaqaddimin dan mujtahidin sebelumnya. Bukanlah sebuah hasil yang dikerjakan sendiri dengan menghimpun hanya pada satu masa dan bukan pula disebutkan dalam satu bentuk atau satu kelompok saja. Sebagai indikasinya berupa penyelidikan dan pemeriksaan secara teliti untuk ukuran-ukuran berbeda yang dilewati fikih Islam, atau melalui permusyawaratan, penajaman dan perdebatan (tanya jawab) dalam konteknya al-Zarqa’.


Demikian, karena para fuqaha dan mujtahid dalam tiap-tiap masa perlu mengoreksi atau membenarkan persoalan-persoalan furu’ agar terlindungi dari percerai-beraian dan kehilangan, di sinilah lahir kaedah-kaedah fiqhiyyah seperti ringkasan yang ditetapkan kebanyakan ahli hukum. Semoga faktor yang memberanikan para fuqaha untuk mengistinbathkan kaedah-kaedah ini berdasarkan alasan-alasan hukum dan pembaruan perkara-perkara yang mereka lihat dari sebagian ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi, yang dikumpulkan dan diketahui dari banyaknya hukum-hukum dalam sebagian kalibat. Mereka dengan cara yang serius dan menghidupkan kembali Al-Qur’an dan sunnah, akhirnya mereka sampai kepada kesimpulan yang ditetapkan, bahwa membangun kaedah-kaedah (dasar, pedoman) merupakan perkara yang penting untuk melindungi persoalan-persoalan furu’ dari kebinasaan dan percerai-beraian.
Salah satu kaedah yang telah mereka bangun adalah kaedah al-umuru bi maqashidiha yang ditransformasikan oleh Abu Thahir al-Dabbas dari Mazhab Abu Hanifah yang mempunyai pengaruh besar dalam perbuatan mukallaf. Kalau demikian, apa sebenarnya maksud kaedah ini dan dari mana sumber pengambilan serta apa saja cakupannya.

B. Pengertian
Kaedah al-umuru bi maqashidiha, menurut Ali Hasballah berarti: perbuatan, dianggap baik atau buruk, halal atau haram di lihat dari aspek niat pelakunya, bukan dari aspek manfaat dan mudharatnya perbuatan. Sebagai contoh, si A bermaksud menyelamatkan seseorang, kemudian ia membidikkan anak panahnya kepada binatang buas yang akan memangsa orang itu, maka perbuatannya baik, apakah sasaran anak panahnya tepat atau salah, dan terkena orang yang akan dimangsa itu. Dan seseorang yang membidikkan sasarannya kepada manusia yang dipelihara jiwanya untuk dibunuh, kemudian salah sasarannya dan terkena binatang buas, maka perbuatannya adalah buruk dan berdosa walaupun akibatnya bermanfaat. Syeikh Abdullah bin Sa’id Muhammad ‘Ibbadi al-Lahji mengartikan sebagai keadaan-keadaan yang dikaitkan dengan niatnya. Sedangkan menurut Musthafa Muhammad al-Zarqa’ mengartikan, perbuatan-perbuatan pribadi dan realisasinya baik berupa ucapan dan perbuatan yang mempunyai akibat dan hukum yang berbeda menurut syara’. Syara’ mengatur perbuatan-perbuatan tersebut berdasarkan maksud pribadi perbuatan-perbuatan itu. Contohnya, membunuh, tidak diperkenankan syara. Jika sengaja maka perbuatannya ada hukum. Dan jika tidak, ada hukum yang lain. Seseorang berkata kepada orang lain: Ambillah uang ini. Jika niatnya untuk bersadakah, ia adalah pemberian dan jika untuk meminjami wajib dikembalikan.
Dengan demikian, dapat diambil sebuah pemahaman bahwa maksud dari kaedah al-umuru bi muqashidiha adalah perbuatan-perbuatan yang dinilai berpahala atau berdosa, sah atau tidak sah berdasarkan niat pelakunya.
Niat pada hakikatnya merupakan qashd al-syai’i muqtarinan bifi’lih (bermaksud mengerjakan seseuatu yang diiringi dengan perbuatan). Lantas kenapa dalam setiap perbuatan harus ada niat. Perbuatan manusia, ada yang merupakan perbuatan ibadah dan ada yang merupakan perbuatan dalam bentuk adat kebiasaan. Hukumnya, berhubungan dengan ukhrawi dan duniawi. Hukum ukhrawi menyangkut pahala dan dosa suatu perbuatan. Sedangkan hukum duniawi menyangkut sah dan tidaknya sebuah perbuatan.
Perbuatan Ibadah seperti shalat misalnya, puasa, haji, zakat dan lain sebagainya. Sedangkan perbuatan adat seperti makan, tidur, istirahat, dan lain-lain. Sekiranya tidak ada niat dalam setiap perbuatan, maka akan sulit untuk membedakan antara perbuatan yang termasuk ibadah dengan perbuatan adat, termasuk juga di dalamnya sulit untuk membedakan perbuatan ibadah yang satu dengan ibadah lainnya. Dengan adanya niat atau maqashid dalam ternamanya al-Syatibi, membedakan antara perbuatan adat dan ibadah. Dalam ibadah membedakan perbuatan wajib dan bukan wajib, sementara dalam adat, membedakan antara perbuatan wajib dan sunat, mubah, makruh, haram, sah, fasid dan hukum lainnya. Lebih lanjut ia mengatakan, perbuatan jika dikaitkan dengan niat, maka ia berkaitan dengan hukum-hukum taklifi, dan jika bebas dari niat tidak berkaitan sesuatupun. Seperti orang yang tidur, orang yang lupa dan orang gila. Menurut al-Suyuthi, sebagai representasi dari mazhab Syafi’i, niat diletakkan dalam hati pada setiap objek. Sebab Niat itu pada hakekatnya adalah bermaksud secara mutlak (al-qashd mutlaqan), dan dikatakan pada al-muqarin li al-fi’il. Jadi menurutnya niat adalah sebagai ibarat dari perbuatan hati. Niat tidak cukup hanya diucapkan secara lisan tanpa hati. Dan juga tidak disyaratkan mengucapkan niat bersamaan dengan niat hati. Jika berbeda lisan dengan hati, maka yang dipertimbangkan adlaah sesuatu yang didalam hati. Jika seseorang berniat dalam hatinya untuk shalat zuhur dan dilisannya shalat ashar, berniat melaksanakan haji sementara lisannya melaksanakan umrah, maka sah bagi orang tersebut melaksanakan ibadahnya sesuai dengan hatinya. Mengucapkan niat dalam setiap ibadah pada dasarnya adalah wajib. Menurut al-Qurthubi, sebagai yang disitir oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, bahwa dalam segala perbuatan disyaratkan menentukan niat serta ikhlash, ini berdasarkan “innama likulli imriin ma nawa”. Selanjutnya, niat itu diucapkan pada awal ibadah dan sejenisnya serta ada juga yang diucapkan diawal waktu. Namun demikian, niat baru diterima jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) yang mengucapkan adalah orang Islam, (2) tamyiz, maka tidak sah ibadah anak-anak ...............................
Agar lebih lengkap silahkan download :




Pengertian, cakupan, nash yang bersangkutan, dan pengecualiannya

Jangan Lupa berikan komentar Anda tentang blog ini, ataupun tentang posting ini.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Pengertian, cakupan, nash yang bersangkutan, dan pengecualiannya

0 komentar: