Artikel Makalah, Kumpulan Makalah

Contoh Makalah tentang Sumber Hukum Ijtihad

Sumber Hukum Ijtihad 1. Al-Ijma’ Asy-Syafi’i mengatakan bahwa ijma’ adalah hujjah. Ia menempatkan ijma’ sesudah al-kitab dan as-Sunnah sebelum al-Qiyas. Dengan memperhatikan apa yang disebut dalam ar-Risalah nyatalah bahwa ia menempatkan ijma’ sebelum qiyas atau harus didahulukan ijma’ atas qiyas. Harus dita’khirkan ijma’ dari beristid-lal dengan al-Kitab dan as-Sunnah.

Qiyas lebih lemah dari ijma’, karena qiyas sama nilainya dengan nilat tayamum. Kita baru bertayamum sesudah tidak ada air untuk berwudhlu. Ijma menurut Asy-Syafi’i, ialah kesepakatan seluruh ulama semasa terhadap suatu hukum. Ijma’ adalah suatu dasar yang didahulukan jika ijma’ itu terhadap ma ulima minaddini bidlarurati, seperti sembahyang lima, hai’ah shalat, shiam, zakat dan haji. Dalam hal ini tidak boleh lagi ada ijtihad yang menyalahinya. Fuqaha Jumhur menta’rifkan ijma’ : “Kesepakatan para mujtahid ummat Islam atas suatu hukum syara’ dalam sesuatu urusan amaliyah pada suatu masa sesudah Nabi”. Perkembangan fikratul ijma’ menurut Jumhur terdiri atas tiga fase : Pertama, para sahabat berijtihad dalam menghadapi masalah-masalah yang timbul di masa mereka. Kedua, para fuqaha mujtahidin selalu berusaha untuk mengetahiu masalah-masalah yang telah diijma’i para sahabat untuk diikuti, tanpa berijtihad lagi. Ketiga, di masa berkembang ijtihad fiqh, masing-masing imam berusaha agar pendapat-pendapatnya tidak terasing dari ulama-ulama senegerinya. Kemungkinan terjadinya Ijma’ Ada diantara para ulama yang mengatakan bahwasannya ijma’ itu tidak mungkin terjadi terkecuali terhadap masalah-masalah yang padanya nash qath’y, atau hadist mutawatir, seperti ijma’ terhadap kefardhluan shalat lima waktu, menghadap kiblat dan tempat Ka’bah. Asy-Syafi’i memandang ijma’ suatu hujjah. Beliau tidak membenarkan adanya ijma terkecuali dalam pokok-pokok fardlu yang diperoleh dengan nash yang qath’y. 2. Qiyas Adalah mempersamakan suatu peristiwa hukum yang tidak ditentukan hukumnya oleh nas (Al-Qur’an dan Hadist), dengan peristiwa hukum yang ditentukan hukumnya oleh nas, bahwa ketentuan hukumnya sama dengan ketentuan hukum yang ditentukan nas. Persamaan illat yang menjadi landasan persamaan hukum antara kedua peristiwa hukum itu merupakan hasil ijtihad si mujtahid. Dengan demikian, antara mujtahid yang satu dengan mujtahid lainnya bisa saja terjadi perbedaan, karena bukan semata-mata “samanya illlat” antara keduanya, tapi “mempersamakan illat”. Karena setiap hukum atau keputusan hukum itu dibangun berdasarkan illat. Ada illat maka ada hukum, tidak ada illat maka tidak ada hukum. Di antara ulama mujtahid yang menggunakan Qiyas adalah Imam Syafi’i. Ia adalah mujtahid pertama yang membahas tentang Qiyas dengan patokan kaidah dan rincian asas-asasnya. Sedangkan mujtahid sebelumnya sekalipun menggunakan Qiyas dalam berijtihad, namun belum membuat rumusan, patokan kadiah dan asas-asasnya, bahkan dalam praktik ijtihad secara umum mempunyai patokan yang jelas sehingga sulit diketahui mana hasil ijtihad yang benar dan mana yang keliru. Jumhur ulama pada prinsipnya menerima Qiyas, baik Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, Zaidiyah dan lain-lain, tetapi yang paling dominan menerima Qiyas adalah Imam Syafi’i. Ia mengidentikkan cara yang paling tepat untuk menemui jawaban yang tidak ada nasnya adalah melalui ijtihad, sedangkan ijtihad menurut Imam Syafi’i adalah qiyas “Al-Ijtihadu buwa al-qiyas”. 3. Istihsan Didefinisikan mendahulukan meninggalkan tuntutan dalil dengan cara istisna’ (pengecualian), dan mengambil rukhsah (keringanan), karena terdapat pertentangan dalam sebagian tuntutan dalil. Istihsan terbagi empat, yaitu meninggalkan dalil karena ijma’; karena masalah, dan karena menarik kemudahan dan menolak kesusahan. Sulaiman Abdullah berpendapat bahwa istihsan adalah memindahkan :  Peristiwa hukum yang ketentuan hukumnya dituntut oleh :  Keumuman nas;  Atau qiyas jail;  Atau penerapan hukum kully Sedangkan menurut mujtahid bila diterapkan akan berakibat hilangnya maslahat atau timbulnya mufsadat, maka  Dipindahkan kepada ketentuan hukum  Pen-takhshis-an  Atau qiyas khafi  Atau pengecualian dari hukum kully Karena hal itu dipandang terbaik, maka proses pemindahan itulah yang sebenarnya yang disebut istihsan.  Perpindahan tersebut juga sebenarnya dituntut oleh dalil syara’ yang disebut dengan sanad istihsan. Dengan demikian istihsan sesungguhnya adalah men¬-tarjib-kan atau mengunggulkan suatu dalil atas dalil yang lain, disebabkan adanya murajib atau faktor yang memang diakui mengunggulinya. Adapun contoh istihsan, antara lain : air liur burung buas seperti elang adalah najis menurut Qiyas, tetapi suci menurut istihsan. Secara teori, menurut Qiyas jali : burung elang diqiyaskan dengan binatang buas, seperti singan dan lain-lain, sama-sama tidak boleh dimakan dagingnya; sedangkan menurut Qiyas khafi : burung elang diqiyaskan dengan manusia, sama dalam hal tidak boleh dimakan dagingnya, namun liurnya suci. Jalan/sanad istihsan adalah bahwa burung elang minum dengan paruhnya, yaitu tulang yang suci, sedangkan singa minum dengan lidahnya yang bercampur dengan liur yang berasal dari dagingnya yang najis, sehingga menurut istihsan, bekas minum burung elang tidak najis. Meskipun istihsan bukan satu-satunya dalil ketika tidak ditemukan penyelesaiannya melalui Al-Qur’an, Hadis dan Ijma’, namun secara historis istihsan menerapkan dalil-dalil syara’ yang secara lahir tampak berseberangan dengan realitas di tengah masyarakat. Hal tersebut pada dasarnya bertujuan agar menghindarkan umat Islam dari kepicikan dan kemudratan, dan agar tercipta keluwesan dan kemaslahatan. 4. Selain Istihsan, bentuk ijtihad lainnya adalah istishlah, yakni penetapan hukum sebuah peristiwa yang tidak disebutkan nas (Al-Qur’an dan Hadis) dan Ijma’, berlandaskan kepada kemaslahatan umat manusia, sementara kemaslahatan itu tidak dijelaskan nas, baik dalam bentuk ditolak maupun diakuinya. Kemaslahatan yang tidak memiliki rujukan nas atau ijma atau lepas sama sekali keterkaitannya dengan nas disebut mashlahah mursalah. Tujuan inti pensyariatan hukum Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan umat, oleh sebab itu setiap pensyariatan hukum di dalam Islam tidak terlepas dari kemaslahatan. Atas dasar ini hukum membuat rumusan “dimana ada kemaslahatan di sanalah hukum Allah”. Antara pensyariatan hukum Islam dan kemaslahatan terdapat hubungan yang sangat erat dan tak dapat dipisahkan. Selain itu, kehidupan selalu bergerak dan terus berkembang, maka Hukum Islam diharapkan dapat merespon semua persoalan yang muncul. Hal itu maslahan menjadi salah satu bentuk aktivitas ijtihad oleh para mujtahid untuk merealisasikan kemaslahatan di tengah-tengah kehidupan umat manusia, dimana agama Islam tidak mencantumkan dalil yang mendukung atau yang menggugurkannya. Ulama Ushul Fiqh umumnya berpendapat bahwa kemaslahatan dari persyariatan agama Islam adalah kemaslahatan yang sesuai dengan muqasid al-Syari’ah, yang terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu : Pertama, tingkatan “pokok” yang dikenal dengan istilah “al-Daruriyah” yaitu sesuatu yang sangat dibutuhkan manusia meliputi 5 macam : a. Pemeliharaan kemaslahatan “akal budi” manusia supaya dapat berpikir dengan sehat. b. Pemeliharaan kemaslahatan “agma” sehingga agama tetap dapat dipertahankan selama-lamanya. c. Pemeliharan kemaslahatan “harta benda”. d. Pemeliharaan kemaslahatan “keturunan” manusia. Kedua, tingkatan “penting” yang dikenal dengan istilah “al-Hajjiyat” sebagai pemenuhan hal-hal yang bersifat primer. Hal-hal tersebut tidak terpenuhi, manusia akan mendapat kesulitan hidup, meskipun tidak sampai mengancam keberlangsungan hidup, seperti adanya pasar sebagai pusat jual beli, sarana pendidikan, panti asuhan, rumah sakit, dan lain-lain. Ketiga, tingkatan “pelengkap” yang dikenal dengan istilah “al-Tahsiniyat” atau Al-kamiliyat yang dipandang sebagai penyempurna atau agar hidup menjadi indah, seperti model pakaian, sarana olahraga, sarana hiburan, dan lain sebagainya. Para ulama yang mengambil bentu ijtihad istishlal atau maslahah mursalah ini mensyaratkan beberapa persyaratan untuk membedakan maslahat yang benar dengan maslahat yang digerakkan oleh hawa nafsu, antara lain : a. Maslahat itu adalah maslahat haqiqiyah b. Maslahat itu bersifat umum c. Maslahat itu bukan maslahat mulghah 5. Istishhab Istishhab menurut Imamiya ialah : “Terus-menerus tetapnya sesuatu hukum, atau sesuatu sifat yang telah ada di masa yang telah lalu, di mana yang sednag dilalui”. Ta’rif ini mirip dengan ta’rif Jumhur. Jumhur mengatakan : “Istishhab itu terus-menerus adanya sesuatu yang telah ada di masa yang telah lalu dan meniadakan adanya suatu yang tidak ada di masa yang telah lalu sehingga adanya dalil”. Ibnu Qayyim berkata : “Sesungguhnya istishhab itu, ialah terus-menerus adanya yang telah ada dan meniadakan apa yang tadinya tidak ada. Yakni tetapnya hukum, baik nafsu ataupun itsbat sehingga adanya dalil yang mengubah keadaan”.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Contoh Makalah tentang Sumber Hukum Ijtihad

0 komentar: