Artikel Makalah, Kumpulan Makalah

Qasam Dalam Al-Qur’an

A. Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan kumpulan kalam Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dan merupakan mu’jizat yang terbesar bagi nabi Muhammad SAW, karena Al-Qur’an berbeda dengan mukjizat para rasul-rasul lain. Al-Qur’an mempunyai keunggulan-keunggulan yang membuatnya istimewa dibandingkan dengan kitab suci lainnya, keindahan susunan dan gaya bahasanya yang tiada bandingannya, mustahil manusia dapat membuat susunan yang serupa dengan Al-Qur’an.


Di dalam Al-Qur’an ada kata yang mengandung arti sumpah yang disebut Qasam. Qasam (sumpah) dalam perkataan termasuk salah satu cara memperkuat ungkapan kalimat yang diiringi dengan bukti nyata, sehingga lawan dapat mengakui apa yang semula diingkarinya.
Qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang masyhur untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuatu di dalam jiwa. Qasam digunakan dalam kalamullah untuk menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalahpahaman, membangun argumentasi, menguatkan khabar dan menetapkan hukum dengan cara paling sempurna.


B. Pendahuluan
1. Qasam dalam Al-Qur’an
a. Defenisi dan Modal Qasam
Aqsam adalah bentuk jamak dari qasam yang berarti al-hilf dan al-yamin, yakni sumpah. Shighat asli qasam ialah fi’il atau kata kerja “aqsama” atau “ahlafa” yang di muta’addi (transitif) kan dengan “ba” menjadi muqsam bih (sesuatu yang digunakan untuk bersumpah) kemudian muqsam alaih, yang dinamakan dengan jawab Qasam. Misalnya firman Allah dalam:
                 ••   

“Mereka bersumpah dengan nama Allah, dengan sumpah yang sungguh-sungguh, bahwasanya Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati” (Q.S. An-Nahl:38)
Dengan demikian, ad atiga unsur dalam shighat qasam (sumpah) fi’il yang ditransitifkan dengan “ba” muqsam bih dan muqsam alaih.
Oleh karena qasam itu sering dipergunakan dalam percakapan maka ia ringka, yaitu fi’il qasam dihilangkan dan dicukupkan dengan “ba” kemudian “ba” pun diganti dengan “wawu” pada isim zhahir, seperti:
   

“Demi malam, bila menutupi (cahaya siang),” (Q.S. Al-Lail:1)
Dan diganti dengan “ta” pada lafazh jalalah, misalnya:
 •      

“Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu,” (Q.S. Al-Anbiya’:57)
Namun qasam dengan “ta” ini jarang dipergunakan, sedang yang banyak digunakan ialah “wawu”.
Qasam dan yamin mempunyai makna yang sama. Qasam didefenisikan sebagai “mengikat jiwa (hati) agar tidak melakukan atau melakukan sesuatu, dengan suatu makna yang dipandang besar, agung, baik secara hakiki maupun secara I’tiqadi, oleh orang yang bersumpah itu, sumpah dinamakan juga dengan yamin (tangan kanan), karena orang Arab ketika sedang bersumpah memegang tangan kanan orang yang diajak bersumpah.

b. Faedah Qasam dalam Al-Qur’an
Bahasa Arab mempunyai keistimewaan tersendiri berupa kelembutan ungkapan dan beraneka ragam uslubnya sesuai dengan berbagai tujuannya.
Qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang masyhur untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuatu di dalam jiwa. Al-Qur’an Al-Karim diturunkan untuk seluruh manusia dan manusia mempunyai sikap yang bermacam-macam terhadapnya. Diantaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan adapula yang amat memusuhi, karena itu dipakailah Qasam dalam kalamullah guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalahpahaman, membangun argumentasi, menguatkan khabar dan menetapkan hukum dengan cara paling sempurna.

c. Jenis-Jenis Sumpah
Qasam ada yang nampak jelas, tegas dan adakalanya tidak jelas (tersirat)
1) Zhahir, ialah sumpah yang didalamnya disebutkan Fi’il qasam dan muqsam bih dan diantaranya ada yang dihilangkan fi’il qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf berupa “ba”, “wawu” dan “ta”.
Dan ada juga yang didahului “la nafy”, seperti:
       •  

“Tidak sekali-sekali, aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan tidak sekali-kali aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). (Q.S. Al-Qiyamah: 1-2)
Sebagian ulama mengatakan “la” di sua tempat ini adalah “la nafy” untuk menafikan sesuatu yang tidak disebutkan yang sesuai dengan konteks sumpah. Ada pula yang mengatakan bahwa “la” tersebut untuk menafikan qasam, seakan-akan ia mengatakan, “aku tidak bersumpah kepadamu dengan hari itu dan nafsu itu, tetapi ada juga yang berpendapat, bahwa “la” tersebut za’idah (tambahan).
2) Mudhmar, yaitu yang didalamnya tidak dijelaskan fi’il qasam dan tidak pula muqsam bih, tetapi ia ditunjukkan oleh “lam taukid” yang masuk kedalam jawab qasam, seperti firman Allah:




d. Qasam dan Syarat
Qasam dan syarat yang menjadi satu dalam suatu kalimat, maka yang menjadi jawab adalah yang lebih dahulu dari keduanya, baik qasam maupun syarat, jawab yang terletak kemudian tidak diperlukan.
Apabila qasam mendahului syarat, maka unsur yang menjadi jawab adalah qasam, dan jawab syarat tidak diperlukan lagi. Misalnya:
          •    

“Jika kamu tidak berhenti, pasti kamu akan dirajam,” (Q.S. Maryam:46)
Pada ayat ini bersatu qasam dan syarat, sebab taqdirnya ialah, “Demi Allah, jika kamu tidak berhenti....” “lam” yang masuk kedalam syarat itu bukanlah “lam” jawab qasam sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah:
 •      

“Demi Allah, sungguh aku akan melakukan siasat, strategi terhadap berhala-berhalamu.” (Q.S. Al-Anbiya’: 57).
Tetapi ia adalah “lam” yang masuk ke dalam adatu asy-syarth yang berfungsi sebagai indikator bahwa pernyataan jawab yang sesudahnya adalah untuk sumpah yang sebelumnya, bukan untuk syarat “lam” seperti dinamakan lam mu’dzinah (indikator) dan juga dinamakan lam mauthi’ah (pengantar), karena ia mengatakan atau merintis jawaban bagi qasam.
Lam mauthi’ah ini pada umumnya masuk ke dalam “in syartiyah” tetapi terkadang pula masuk kedalam yang lain. Tidak dapat dikatakan kalimat “syarat” itu adalah jawab bagi qasam yang dikira-kirakan, karena “syarat” tidak bisa menjadi jawab. Sebab jawab haruslah berupa kalimay berita sedangkan “syarat” adalah insya’, bukan kalimat berita. Dengan demikian masuknya qasam “lam mautji’ah” ke dalam syarat tidaklah wajib. Sebab “lam” itu terkadang dihilangkan padahal qasam tetap diperkirakan sebelum syarat.

e. Beberapa Fi’il yang berfungsi sebagai qasam
Apabila qasam berfungsi memperkuat muqsam ‘alaih, maka beberapa fi’il dapat difungsikan sebagai qasam jika konteks kalimatnya menunjukkan makna qasam. Misalnya:
       • ••              

“Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia ....” (Q.S. Ali Imran: 187)
“Lam” pada “Latubayyinunnahu li an-nasi” adalah “lam qasam” dan kalimat sesudahnya adalah jawab qasam, sebab “akhzu al-mitsaq” bermakna “istihlaf” (mengambil sumpah).


C. Kesimpulan
Bahasa Arab mempunyai keitimewaan tersendiri berupa kelembutan ungkapan dan beraneka ragam uslubnya sesuai dengan berbagai tujuannya. Qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang masyhur untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuatu di dalam jiwa. Al-Qur’an Al-Karim diturunkan untuk seluruh manusia, dan manusia mempunyai sikap yang bermacam-macam terhadapnya. Diantaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan adapula yang amat memusuhi. Karena itu dipakailah Qasam dalam kalamullah guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalah pahaman, membangun argumentasi, menguatkan khabar dan menetapkan hukum dengan cara paling sempurna.
Ada tiga unsur dalam shighat qasam (sumpah): fi’il yang ditransitifkan dengan “ba” muqsam bih dan muqsam alaih.
Qasam sering dipergunakan dalam percakapan maka ia ringkas, yaitu fi’il qasam dihilangkan dan dicukupkan dengan “ba” kemudian “ba: pun diganti dengan “wawu” pada isim zhahir.
Qasam dengan “ta” jarang dipergunakan, sedang yang banyak digunakan ialah “wawu”.
Qasam dan yamin mempunyai makna yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

-----Al-Qur’an dan Terjemahannya, Al-Jumatul ‘Ali, Bandung, 2004.
Al-Qaththan, Manna, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2008.
Ash-Shiddieqy, Hasby, Tafsir Al Bajaan. PT. Al-Ma’rif, Bandung, Jilid 1 Th. 1966.
Download artikel ini lebih lengkap: Qasam Dalam Al-Qur’an
Jangan Lupa berikan komentar Anda tentang blog ini, ataupun tentang posting ini.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Qasam Dalam Al-Qur’an

0 komentar: